(Sumber: www.panoramio.com/photo/6771962)
Beberapa detik aku tercenung,
mendengarkan mamak. “Selamanya le[2],
selamanya.” Utara mamak begitu jelas.
“Tapi mak, aku hanya ingin…” belum
selesai bantahanku, mamak menyela.
“Mamak juga tidak tahu, biarkan rahasia
itu menjadi rahasia mbah kakungmu selamanya le.”
Aku hanya tidak habis pikir, kenapa
mamak bisa berlaku seperti ini. Padahal sejauh pandanganku, mamak adalah satu
dari delapan bersaudara yang mempunyai kedekatan dengan simbah, anak kesayangan
simbah. “Menurutku mbah kakung bukanlah orang seperti yang dikatakan warga
desa. Aku hanya ingin membersihkan nama baik simbah, mak. Cuma itu.”
Mamak mengernyitkan kening, mengibaskan
tangannya. “Sudah, sudah. Suatu saat dengan sendirinya kamu akan tahu. Untuk
masalah nama baik, sudahlah, Gusti Allah yang lebih tahu. Sana pergi dulu ke
surau, adzan sudah berkumandang.” Beliau pun mengambil mukena dan
mengenakannya, sudah tiga bulan ini mamak memang tidak bisa berjalan terlalu
jauh, kakinya sakit karena asam urat.
Aku mengambil sarung dan berlari kecil
menuju surau yang tak jauh dari rumah. Selesainya sholat Isya, aku malah
terpekur di teras surau memandang bakiak-bakiak[3]
yang biasanya digunakan untuk berwudhu. Terkenang semasa mbah kakung masih
hidup. Beliau yang telaten mengajariku tentang cara membuat bakiak.
“Bakiak
memang sandal ala kadarnya le, dibuat dengan bahan seadanya, kayu dan ban
bekas. Kita pun bisa membuat bakiak sendiri dengan mudah. Enakkan, makanya
simbah akan mengajarkanmu cara membuatnya.”
Aku
mengangguk senang dengan penjelasan mbah kakung. “Aku akan membuat bakiak yang
paling bagus mbah dan memakainya kemana pun, aku akan membuat untuk surau itu, mbah
kakung, mbah putri, mamak, bapak, dan empat adik-adikku, juga Sarijo, Painem,
Warsita, dan teman-temanku yang lain, mbah.” Ujarku bersemangat.
“Baiklah,
kalau begitu simbah perlu mencari bahan yang lebih banyak lagi. Untuk membuat
bakiak yang akan kamu bagikan. Sik ya[4], simbah pergi, kamu
tunggu di sini.” Simbah pergi dengan mengusap kepalaku setelahnya beliau
memberikanku senyumnya yang teduh.
Lalu, bagaimana bisa orang-orang
menyebut simbah sebagai seseorang yang egois, tidak pernah mau berbagi dan
culas? Awalnya sebutan itu tidak masalah bagiku, toh, simbah tidak pernah meladeni
omongan belakang orang-orang. Tetapi semakin dibiarkan, orang-orang itu seakan
diberikan lahan hijau untuk ditanami gosip lain. Pernah suatu ketika amarahku
lepas dan memukul Paijo.
Alhasil sesampainya di rumah, aku
menemukan raut wajah simbahku merah padam. “Kenapa pulang malam? Marah? Sama
Paijo?”
Aku terbelalak. “Mbah kakung, tahu?”
Simbah mengangguk. Aku menundukkan
kepala, segan dengan simbah. “Biarkanlah, misal mau marah, bukankah seharusnya
simbah yang lebih marah? Kamu tidak usah berlebihan seperti itu.”
“Berlebihan?” aku mengernyitkan kening,
menampakkan kebingungan, juga marah dengan sikap simbah. “Simbah harusnya
meluruskan semua berita itu.”
“Kanggo opo, Le[5]?”
Helaan napasku memberat, duh…simbah.
Pangkal dari semua yang tidak
mengenakkan hati tentang mbah kakung adalah pada saat mbah kakung mulai menolak
untuk iuran bersih desa, dipinjami uang padahal ada orang yang datang dengan
kebutuhan yang mendesak dan juga iuran membuat bakiak surau. Sungguh, aku tidak
tahu maksud mbah kakung dengan berbuat seperti itu, yang aku tahu simbah
berhati lembut, tidak mungkin tega melakukan hal-hal itu.
“Le…” suara itu membangunkanku, ternyata
sedari tadi aku tertidur di teras. Aku mengerjap, mencoba mengenali sosok di
depanku, seorang lelaki yang tampan, tapi aku yakin bukan dari desa sini.
“Iya pak, ada yang bisa saya bantu.”
“Tanyakan pada Pakdhe[6]
Singgih perihal simbahmu.”
Lelaki itu menghilang dengan kabut tipis
yang jatuh pelan-pelan. Aku tergeragap, dan terbangun dengan napas tersenggal.
Pakdhe Singgih? Sarung yang masih kupakai kucincingkan dan berlari menuju rumah
pakdhe Singgih. Beliau adalah karyawan mbah kakung yang sangat dipercayainya.
“Assalamualaikum, kulonuwun[7]
pakdhe Singgih.”
Aku tersenyum, tanpa menunggu, aku
langsung menanyakan perihal rahasia mbah kakung. Raut wajah pakdhe Singgih
memucat.
“Maksud kamu gimana le?”
“Saya tahu, anggapan orang-orang
terhadap simbah tidak benar, pakdhe. Oleh karenanya tidak bisakah itu
diluruskan. Saya hanya ingin nama mbah kakung itu bersih.”
Pakdhe Singgih menggeleng. “Satu jawaban
untukmu Le, bagi simbah kakungmu itu, rahasianya cuman satu, tangan kanan
memberi dan tangan kiri tidak mengetahui. Selama ini simbahmu menyuruhku untuk
diam-diam memberikan uang iuran bersih desa, meminjamkan uang pada yang datang
dengan kebutuhan mendesak. Meskipun tidak memberikan uang iuran membuat bakiak
surau, simbahmu malah diam-diam membuatnya sendiri. Selama ini akulah yang
menjadi perantara simbahmu dengan orang-orang yang tidak mengetahui sumbernya.”
Penjelasan pakdhe membuatku benar-benar
terkejut. Terkesiap dengan kenangan yang mendadak hadir. Simbah tertawa, menampakkan gigi-giginya yang sudah jarang. “Apik[10], harus seperti itu.
Asal kamu tahu le, dibalik ala kadarnya, bakiak punya kelebihan yaitu tahan
terik matahari maupun hujan. Esok kamu harus jadi seperti bakiak. Sederhana,
tanpa diketahui orang lain keberadaan manfaatmu, dan tahan banting. Sini,
mendekatlah, ayo kita buat bakiak untuk surau itu ya.”
“Siapa yang memberitahumu?” suara pakdhe
mengeluarkanku dari lamunan.
Kesiapku belum selesai, aku kembali dikesiapkan
pertanyan pakdhe. Jantungku serasa berlari kencang. Siapa? Aku menggeleng. Kenapa
dia bisa tahu tentang kunci untuk membuka rahasia mbah kakung adalah pakdhe
Singgih? siapa dia? Malam semakin larut. Aku mendengar seruan suara
hamdalah yang bersama-sama. Aku menengok kanan dan kiri. Sepi.
Subuh, 11 Desember 2012, 03:54 WIB
Kangen pada almarhum kedua simbah kakungku (97 dan
01), salam saya untuk semua simbah kakung di seluruh dunia J.
[1] Kakek (bahasa Jawa)
[2] Tole: anak laki-laki
[3]Bakiak sebutan
di Jawa Tengah untuk sejenis sandal yang telapaknya
terbuat dari kayu yang ringan
dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku di kedua sisi.
[6] Sapaan; bapak gedhe; orang yang
lebih tua
[7] permisi
[8] cucunya
[10]
Bagus