Tuesday, 6 January 2015

PERIHAL RAHASIA MBAH KAKUNG [1] (Dimuat di Majalah Respon)

0

(Sumber: www.panoramio.com/photo/6771962)

Beberapa detik aku tercenung, mendengarkan mamak. “Selamanya le[2], selamanya.” Utara mamak begitu jelas.
“Tapi mak, aku hanya ingin…” belum selesai bantahanku, mamak menyela.
“Mamak juga tidak tahu, biarkan rahasia itu menjadi rahasia mbah kakungmu selamanya le.”
Aku hanya tidak habis pikir, kenapa mamak bisa berlaku seperti ini. Padahal sejauh pandanganku, mamak adalah satu dari delapan bersaudara yang mempunyai kedekatan dengan simbah, anak kesayangan simbah. “Menurutku mbah kakung bukanlah orang seperti yang dikatakan warga desa. Aku hanya ingin membersihkan nama baik simbah, mak. Cuma itu.”
Mamak mengernyitkan kening, mengibaskan tangannya. “Sudah, sudah. Suatu saat dengan sendirinya kamu akan tahu. Untuk masalah nama baik, sudahlah, Gusti Allah yang lebih tahu. Sana pergi dulu ke surau, adzan sudah berkumandang.” Beliau pun mengambil mukena dan mengenakannya, sudah tiga bulan ini mamak memang tidak bisa berjalan terlalu jauh, kakinya sakit karena asam urat.
Aku mengambil sarung dan berlari kecil menuju surau yang tak jauh dari rumah. Selesainya sholat Isya, aku malah terpekur di teras surau memandang bakiak-bakiak[3] yang biasanya digunakan untuk berwudhu. Terkenang semasa mbah kakung masih hidup. Beliau yang telaten mengajariku tentang cara membuat bakiak.
“Bakiak memang sandal ala kadarnya le, dibuat dengan bahan seadanya, kayu dan ban bekas. Kita pun bisa membuat bakiak sendiri dengan mudah. Enakkan, makanya simbah akan mengajarkanmu cara membuatnya.”
Aku mengangguk senang dengan penjelasan mbah kakung. “Aku akan membuat bakiak yang paling bagus mbah dan memakainya kemana pun, aku akan membuat untuk surau itu, mbah kakung, mbah putri, mamak, bapak, dan empat adik-adikku, juga Sarijo, Painem, Warsita, dan teman-temanku yang lain, mbah.” Ujarku bersemangat.
“Baiklah, kalau begitu simbah perlu mencari bahan yang lebih banyak lagi. Untuk membuat bakiak yang akan kamu bagikan. Sik ya[4], simbah pergi, kamu tunggu di sini.” Simbah pergi dengan mengusap kepalaku setelahnya beliau memberikanku senyumnya yang teduh.
Lalu, bagaimana bisa orang-orang menyebut simbah sebagai seseorang yang egois, tidak pernah mau berbagi dan culas? Awalnya sebutan itu tidak masalah bagiku, toh, simbah tidak pernah meladeni omongan belakang orang-orang. Tetapi semakin dibiarkan, orang-orang itu seakan diberikan lahan hijau untuk ditanami gosip lain. Pernah suatu ketika amarahku lepas dan memukul Paijo.
Alhasil sesampainya di rumah, aku menemukan raut wajah simbahku merah padam. “Kenapa pulang malam? Marah? Sama Paijo?”
Aku terbelalak. “Mbah kakung, tahu?”
Simbah mengangguk. Aku menundukkan kepala, segan dengan simbah. “Biarkanlah, misal mau marah, bukankah seharusnya simbah yang lebih marah? Kamu tidak usah berlebihan seperti itu.”
“Berlebihan?” aku mengernyitkan kening, menampakkan kebingungan, juga marah dengan sikap simbah. “Simbah harusnya meluruskan semua berita itu.”
“Kanggo opo, Le[5]?”
Helaan napasku memberat, duh…simbah.
Pangkal dari semua yang tidak mengenakkan hati tentang mbah kakung adalah pada saat mbah kakung mulai menolak untuk iuran bersih desa, dipinjami uang padahal ada orang yang datang dengan kebutuhan yang mendesak dan juga iuran membuat bakiak surau. Sungguh, aku tidak tahu maksud mbah kakung dengan berbuat seperti itu, yang aku tahu simbah berhati lembut, tidak mungkin tega melakukan hal-hal itu.
“Le…” suara itu membangunkanku, ternyata sedari tadi aku tertidur di teras. Aku mengerjap, mencoba mengenali sosok di depanku, seorang lelaki yang tampan, tapi aku yakin bukan dari desa sini.
“Iya pak, ada yang bisa saya bantu.”
“Tanyakan pada Pakdhe[6] Singgih perihal simbahmu.”
Lelaki itu menghilang dengan kabut tipis yang jatuh pelan-pelan. Aku tergeragap, dan terbangun dengan napas tersenggal. Pakdhe Singgih? Sarung yang masih kupakai kucincingkan dan berlari menuju rumah pakdhe Singgih. Beliau adalah karyawan mbah kakung yang sangat dipercayainya.
“Assalamualaikum, kulonuwun[7] pakdhe Singgih.”
“Oalah, putune[8] mbah Kardjo tho. Waalaikumsalam. Mari masuk le, tak kiro sopo[9].”
Aku tersenyum, tanpa menunggu, aku langsung menanyakan perihal rahasia mbah kakung. Raut wajah pakdhe Singgih memucat.
“Maksud kamu gimana le?”
“Saya tahu, anggapan orang-orang terhadap simbah tidak benar, pakdhe. Oleh karenanya tidak bisakah itu diluruskan. Saya hanya ingin nama mbah kakung itu bersih.”
Pakdhe Singgih menggeleng. “Satu jawaban untukmu Le, bagi simbah kakungmu itu, rahasianya cuman satu, tangan kanan memberi dan tangan kiri tidak mengetahui. Selama ini simbahmu menyuruhku untuk diam-diam memberikan uang iuran bersih desa, meminjamkan uang pada yang datang dengan kebutuhan mendesak. Meskipun tidak memberikan uang iuran membuat bakiak surau, simbahmu malah diam-diam membuatnya sendiri. Selama ini akulah yang menjadi perantara simbahmu dengan orang-orang yang tidak mengetahui sumbernya.”
Penjelasan pakdhe membuatku benar-benar terkejut. Terkesiap dengan kenangan yang mendadak hadir. Simbah tertawa, menampakkan gigi-giginya yang sudah jarang. “Apik[10], harus seperti itu. Asal kamu tahu le, dibalik ala kadarnya, bakiak punya kelebihan yaitu tahan terik matahari maupun hujan. Esok kamu harus jadi seperti bakiak. Sederhana, tanpa diketahui orang lain keberadaan manfaatmu, dan tahan banting. Sini, mendekatlah, ayo kita buat bakiak untuk surau itu ya.”
“Siapa yang memberitahumu?” suara pakdhe mengeluarkanku dari lamunan.
Kesiapku belum selesai, aku kembali dikesiapkan pertanyan pakdhe. Jantungku serasa berlari kencang. Siapa? Aku menggeleng. Kenapa dia bisa tahu tentang kunci untuk membuka rahasia mbah kakung adalah pakdhe Singgih? siapa dia? Malam semakin larut. Aku mendengar seruan suara hamdalah yang bersama-sama. Aku menengok kanan dan kiri. Sepi.

Subuh, 11 Desember 2012, 03:54 WIB
Kangen pada almarhum kedua simbah kakungku (97 dan 01), salam saya untuk semua simbah kakung di seluruh dunia J.




[1] Kakek (bahasa Jawa)
[2] Tole: anak laki-laki
[3]Bakiak sebutan di Jawa Tengah untuk sejenis sandal yang telapaknya terbuat dari kayu yang ringan dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku di kedua sisi.
[4] Sebentar ya
[5] Buat apa?
[6] Sapaan; bapak gedhe; orang yang lebih tua
[7] permisi
[8] cucunya
[9] Kukira siapa
[10] Bagus

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com