Tuesday, 6 January 2015

SAHABAT SURGAKU (Dimuat di Majalah SMART TEEN)

0



Rasanya seperti ada badik yang menancap di relungku, kemudian saat  menyadari yang terjadi saat ini adalah sebuah kenyataan, sebilah hatiku sudah turut bersamanya, meregang nyawa.
Tanpa kata. Gugupku semakin menguar. Tangan kananku memilin ujung baju sedangkan tangan kiriku sibuk mengusap air yang mendadak tumpah tak terkendali. Semua kelebat bayangannya semakin nyata. Aku sibuk merapal doa. Tu. Han. Rabb-ku… Bisakah kau sisakan waktu untuk aku bertemu dengan dia? Untuk kesekian kalinya, lagi? Bisakah harapanku itu kau jadikan nyata, Allah?
Langkah tidak teraturku semakin gegas. Aku tidak suka melewati lorong-lorong. Bagiku lorong-lorong rumah sakit yang panjang menawarkan kesedihan yang semakin mendalam dan meresap. Itu menyakitkan. Menghantam-hantam dan meremuk redamkan jantungku. Ia tak pernah berhenti sedetik pun untuk tidak berdetak lebih lamban. Semuanya serba muram, kelam, berantakan.
Aku melihat keadaan sekitarku dengan kacau, melihat setiap nama ruang. Aku tak terbiasa datang ke rumah sakit. Untuk bertanya? Aku bahkan tak sanggup untuk berkata. Bahkan untuk menghentikan air yang mengalir deras di pipi dan juga sesenggukanku.
Duhai Allah, apa sebenarnya rencana yang sedang Engkau persiapkan untuk kami? untukNya? Kau lihatkan senyumnya? Apa karena itu Kau ingin bertemu dengannya? Kau rindu denganNya? Bagaimana dengan aku, Rabb? Aku tak bisa melihatnya sedangkan Engkau? Dari dunia ini Engkau yang Maha Melihat segalanya. Maafkan aku jika aku egois, tetapi Allah, aku sungguh menyayanginya.
Semua masa-masa bersamanya berkelebat cepat.
Ia tersenyum, menutup mushafnya, bertanya tentang kebahagiaan yang menyelimuti kami. Bertanya tentang bagaimana kita bisa hidup sebagai sahabat, se-la-ma-nya. Bertanya tentang bagaimana Allah bisa menemukan kami dan membuat kami bisa bertukar bahagia. Bahagia yang berbunga-bunga.
Dia, sahabat spesialku. Dia tidak hanya memberikanku kebahagiaan tetapi juga kebaikan hatinya. Ia lengkapkan hidupku. Ia, lebih dari, lebih. Ia sahabat surgaku. Tak pernah sedikit pun aku merasa ia pernah menyakitiku, bahkan ketika ia menegur dengan nasihatnya yang sedikit keras. Tentang pola lakuku yang terkadang tanpa kusadari telah berada di luar batasan islami.
Tentu saja, walau kami bersahabat bukan berarti tak pernah ada kerikil yang menyandung kaki kami. Tetapi hal itu tak menjadikan kami musuh. Semuanya akan jadi lebih baik. Mungkin hanya perlu waktu untuk saling memahami.
Lantunan adzan dari arah dalam surau menyelimuti kami. Itu menjadi irama kali pertama, kami bertemu. Melempar senyum hangat, bertukar kenal, menjawab adzan, sholat bersampingan di shaf yang sama, berbincang akrab, dan tilawah qur’an bersama.
Di sini. di sebuah surau sederhana di pinggir sebuah desa dengan gemericik air dari kali jernih di sebelah timur, yang nantinya, tempat ini menjadi ikrar persahabatan kami. Dan itu telah terjadi bertahun yang lalu. Di tempat, dimana kami bisa melihat anak-anak desa bercengkrama di pekarangan surau, mengaji dengan semangatnya, dan ikut bergabung di shaf sholat dengan ibu-ibu lain.
Hal itu telah terbilang dua tahun, delapan bulan, dua minggu, tiga hari, tujuh jam, dan delapan belas menit. Aku selalu mencatatnya. Dengan sangat baik. Tak pernah terkecuali. Bahkan setiap momen bersamanya, aku akan menuliskan di catatan harianku, seperti sekarang ini.
Dalam sepekan kami akan bertemu di sini. Mengajar TPA. Hal itu kami lakukan karena kami beda sekolah, dan dengan kepadatan jadwal. Kami sepakat untuk meluangkan waktu bersama di hari sabtu di sini, sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Satu hal yang dulu ia yakini dan menular kepadaku, meskipun kami sibuk tetapi sifat berbagi tetap tak akan kami kesampingkan. Karena sekarang ini, baru itu yang bisa kami lakukan, bukan dengan harta tetapi dengan pengetahuan yang kami miliki.
Dan di saat tersakit inilah, gempuran kenangan itu semakin membuatku tersungkur, merana. Meskipun begitu, aku bahagia, ia telah meng-indahkan dirinya, mempersiapkan semua bekal dengan baik, bahkan ia tadi juga sempat berpamitan denganku. Akhir-akhir ini bahkan ia getol sekali mengingatkan aku tentang zakat, sholat tahajud, sholat tepat waktu, sholat sunnah dan dhuha, tilawah qur’an. Kadang malah hal itu tak kuindahkan. Tapi bukan Mey namanya, kalau ia menyerah. Bahkan aku hampir kebosanan dan mengangguk pasrah dengan jejalan nasihatnya.
Aku tahu, kau sangat baik. Iya iya, aku mengerti kok. Kau benar-benar sahabat surgaku. Hanya saja, tak kusangka seperti ini Mey. Kau mau pulang? Jadi kau ingin menyakinkan dirimu saat kau tinggal, aku akan menjadi pribadi yang baik-baik saja tanpamu? Bahkan lebih baik darimu? Agar kita nanti bertemu di jannahNya, seperti itukah, Mey, maksudmu? Maaf, aku tidak peka.
Suara telepon diujung tadi membuatku sesak, memberitakan tentang keadaanmu. Terjatuh dari motor, hilang kendali, menabrak truk, dan dari jalur berbeda ada motor yang melaju lebih kencang. Kamu hilang sadar, Mey…sebelum sampai di tempat kita mengajar TPA.
Lorong-lorong yang kulalui semakin banyak. Aku tersentak, aku mendengar suara adzan kami, terdengar lebih sayup. Semakin sayup. Aku kembali mengiggil membuat doaku padamu semakin menghambur. Jatuh satu per satu. Aku percepat langkah kakiku, semakin cepat, dan hampir berlari, Mey aku takut kehilanganmu.
Aku memang melihatmu tak menangis ketika aku kalang kabut mencarimu. Ibumu sakit dan tiba-tiba harus di bawa ke UGD. Senyummu malah melingkar-lingkar. Menabahkan aku, lho, Mey… sebenarnya yang seharusnya sedih dan khawatir itu siapa? Dengan tenang kau malah berkata bahwa jika memang sudah takdir, kenapa harus dikhawatirkan. Bukankah mati memang sesuatu yang pasti. Aku terhenyak, memandangmu.
Meskipun kita sudah berkenalan dan bersahabat lama. Aku masih saja tak menyangka bagaimana cara kamu berpikir. Aku benar-benar banyak belajar darimu tentang hidup, Mey.
Tunggu ya Mey, tunggu Tu. Han. Tunggu, aku mohon dengan sangat. Tunggu aku. Jangan biarkan aku kehilangan dia dulu, Rabb. Jangan, aku mohon. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang belum kuutarakan. Aku menyayangimu, Mey, karena Allah.


Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com